Showing posts with label UAV. Show all posts
Showing posts with label UAV. Show all posts

Thursday, September 13, 2012

Inilah Pesawat Mata-mata Militer RI buatan BPPT

Model pesawat tanpa awak (UAV) jenis Alap-Alap Double Boom (BPPT)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tak hanya puas mengembangkan riset untuk senjata dan kendaraan taktis militer, yang salah satunya menghasilkan panser ANOA yang diproduksi PT Pindad. BPPT pun segera merintis pembuatan pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehicle), yang salah satunya untuk kepentingan militer.
"Sekarang kami sedang finalisasi pesawat itu untuk kepentingan pengintaian dan operasi," kata Kepala BPPT, Marzan A. Iskandar, usai penganugerahan BJ Habibie Technology Award 2012 di Aula BPPT, Jakarta, Rabu 12 September 2012.

Marzan menambahkan pesawat tanpa awak tersebut selain untuk kepentingan pertahanan juga dapat digunakan untuk pengamatan wilayah (survailence) dan kebakaran hutan.

"Pada waktu lalu, pesawat ini digunakan untuk mendukung pembuatan hujan buatan," tambahnya.

Pesawat dengan kemampuan tinggi terbang mencapai 8.000 kaki ini dioperasikan secara otomatis melalui pusat kendali. "Langsung bisa kirim data secara real time ke pusat kontrol," ujarnya.

Bulan September ini, lanjut Marzan, akan dilakukan ujicoba bersama dengan Kementerian Pertahanan. Setelah ujicoba baru kemudian akan dilanjutkan ke tahap produksi.

"Segera diujicoba di Halim Perdanakusuma, dari sana produksi diputuskan dan bagaimana keperluannya," kata Marzan.

Pesawat tanpa awak yang dikembangkan oleh BPPT telah muncul dalam lima varian. Tiga merupakan jenis pesawat UAV untuk survei pemetaan sementara dua varian untuk kepentingan pertahanan. Pesawat ini akan dipakai oleh Kementerian Pertahanan maupun TNI.(ren)

Ini Spesifikasi Pesawat Mata-mata Militer RI

BPPT mengembangkan 2 pesawat tanpa awak: Alap-alap dan Sriti.

Bentuk pesawatnya kecil, ramping, bentang sayapnya kurang dari 4 meter, juga tak berawak. Namun, pesawat ini mempunyai peranan besar bagi pertahanan Indonesia, untuk melakukan misi pengintaian.

Indonesia sebentar lagi mempunyai pesawat pengintai tanpa awak (unmanned aerial vehicle) yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Saat ini sudah BPPT sudah membuat lima buah pesawat tanpa awak. Tiga merupakan pesawat tanpa awak untuk survei pengamatan wilayah, sedangkan dua jenis lainnya pesawat tanpa awak untuk pengintaian.

Pesawat tanpa awak ini didesain dengan konsep autopilot dan autonomous. Pesawat ini secara bergerak otomatis melalui kendali Ground Control System (GCS) dan jalur yang dilalui oleh pesawat juga terkendali.

"Jadi ini terkendali, pesawat nggak bisa kemana-mana, sesuai dengan kendali program di GCS," jelas Agus Suprianto, staff engineering Unit Kerja Pusat Teknologi Industri Pertahanan dan Keamanan Kedeputian Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT di Jakarta, Rabu 12 September 2012.

Varian pesawat tanpa awak yang dikembangkan BPPT yaitu Alap-Alap Double Boom dan Sriti. Keduanya secara fisik lebih kecil dibandingkan pesawat tanpa awak untuk kepentingan survei pemetaan dan kemampuan tinggi terbang maksimumnya juga lebih rendah dari pesawat survei pengamatan.

"Pesawat pengintai mampu terbang 7.000 kaki, agar lebih jelas dalam meningkatkan performa fokus pengintaian pembajakan ilegal logging, pembajakan kapal, jadi lebih ke teknologi pertahanan," tambah Agus.

Untuk memotret obyek pengintaian, pesawat khusus ini dilengkapi dengan Gymbal camera video buatan Sony. Kamera ini beratnya mencapai 9 kg dan memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan kamera biasa maupun kamera profesional.

Ia melanjutkan, pesawat melakukan pengintaian selepas proses climbing di udara. "Jadi tahapannya, setelah take off, kan climbing, nah setelah itu pesawat baru bisa merekam obyek pengintaian," paparnya.

Lantas bagaimana dengan pengiriman data pengintaian? Pesawat ini sudah dilengkapi dengan sensor yang langsung terhubung dengan GCS di daratan. Data bersifat real time, dapat langsung diolah di pusat kendali. "Ini merupakan generasi perintis, generasi awal pesawat tanpa awak di Indonesia," ujarnya.


Pesawat khusus ini akan dipakai oleh Kementerian Pertahanan dan TNI.

"Pengintaian akan dilakukan di TNI AL, dari kapal. Ini masih disesuaikan, semakin kecil semakin lincah," kata Agus.

BPPT dan Kemenhan akan melakukan ujicoba pesawat pada bulan ini di Halim Perdanakusuma.

Pesawat Pengintai Buatan Indonesia, Seberapa Canggih?

Tak perlu keluarkan uang mahal untuk impor, apalagi beli dari Israel.

Kecil-kecil, Alap-alap dan Sriti bak cabai rawit, pantang diremehkan. Pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehicle)  atau dalam Bahasa Indonesia, pesawat udara nir awak (PUNA) itu memang ukurannya kecil, bentang sayapnya saja kurang dari 4 meter. Tapi, perannya akan sangat besar, terutama menjaga pertahanan wilayah Negara Republik Indonesia. Dari musuh, kapal asing yang menyelonong masuk, juga teroris.





Dan yang paling membanggakan, Alap-alap dan Sriti adalah produk buatan Indonesia, bukan impor. PUNA tipe Sriti sempurna untuk kebutuhan taktis pasukan atau jenis short range, sementara Alap-alap untuk operasi surveillance dan reconnaissance.

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Marzan A. Iskandar mengatakan bahwa pihaknya segera memproduksi pesawat tanpa awak itu. Tak sekedar prototipe.

"Sekarang kami sedang finalisasi pesawat itu untuk kepentingan pengintaian dan operasi," katanya usai penganugerahan BJ Habibie Technology Award 2012 di Aula BPPT, Jakarta, Rabu 12 September 2012.

Setidaknya ada dua manfaat dari pesawat tanpa awak made in Indonesia itu. Untuk kepentingan pertahanan -- yang salah satunya mengawasi kapal asing yang masuk wilayah Indonesia -- juga untuk kepentingan sipil. "Pada waktu lalu, pesawat ini digunakan untuk mendukung pembuatan hujan buatan,"kata Marzan.

Bulan September ini akan dilakukan uji coba bersama dengan Kementerian Pertahanan. "Uji coba akal dilakukan di Halim Perdanakusuma. Setelah itu baru produksi diputuskan dan seberapa banyak keperluannya," katanya.

Pesawat tanpa awak yang dikembangkan oleh BPPT sesungguhnya sudah muncul dalam lima varian. Tiga merupakan jenis pesawat UAV untuk survei pemetaan sementara dua varian untuk kepentingan pertahanan. Pesawat ini akan dipakai oleh Kementerian Pertahanan maupun TNI.

Selain Alap-alap dan Sriti, sebelumnya ada Pelatuk, Wulung, dan Gagak. Wulung cocok untuk misi pemantauan high altitude. Antara lain, pemotretan udara pada area yang sangat luas, pengukuran karakteristik atmosfer, dan pemantauan kebocoran listrik pada kabel listrik tegangan tinggi.

Sementara, Gagak cocok untuk misi pemotretan dari udara pada jangkauan luas. Dan Pelatuk cocok untuk misi pemotretan udara pada area kecil, pengintaian jarak dekat suatu sasaran, pemantauan hutan, pemantauan laut dan pantai.

Spesifikasi

Seperti apa pesawat pengintai tanpa awak buatan Indonesia? BPPT menjelaskan, pesawat tanpa awak buatan Indonesia akan didesain dengan konsep autopilot dan autonomous. Pesawat ini secara bergerak otomatis melalui kendali Ground Control System (GCS).

"Jadi tetap terkendali, pesawat nggak bisa kemana-mana, sesuai dengan kendali program di GCS," jelas Agus Suprianto, staf engineering Unit Kerja Pusat Teknologi Industri Pertahanan dan Keamanan Kedeputian Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT di Jakarta, Rabu 12 September 2012.

Untuk Alap-Alap Double Boom dan Sriti, keduanya secara fisik lebih kecil dibandingkan pesawat tanpa awak untuk kepentingan survei pemetaan lainnya.  Kemampuan tinggi terbang maksimumnya juga lebih rendah dari pesawat survei pengamatan.

"Pesawat pengintai mampu terbang 7.000 kaki, agar lebih jelas dalam meningkatkan performa fokus pengintaian, pembajakan ilegal logging, pembajakan kapal, jadi lebih ke teknologi pertahanan," tambah Agus. Dan pastinya tidak berisik dan menarik perhatian.

Untuk memotret objek pengintaian, pesawat khusus ini dilengkapi dengan kamera video buatan SONY. Kamera ini yang beratnya mencapai 9 kg ini, menurut Agus, memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan kamera biasa maupun kamera profesional.

Ia melanjutkan, pesawat akan bisa melakukan pengintaian selepas proses climbing di udara. "Jadi tahapannya, setelah take off, kan climbing, nah setelah itu pesawat baru bisa merekam objek pengintaian. Selama gerak bisa dilakukan pengamatan objek," paparnya.

Sementara untuk pengiriman data pengintaian, dua pesawat ini sudah dilengkapi dengan sensor yang langsung terhubung dengan GCS di daratan. Sementara, data bersifat real time, dapat langsung diolah di pusat kendali.

"Ini merupakan generasi perintis, generasi awal pesawat tanpa awak di Indonesia," ujarnya. Pesawat khusus ini akan dipakai oleh Kementerian Pertahanan dan TNI. "Ini masih disesuaikan, semakin kecil semakin lincah," kata Agus.

Hal ikhwal pesawat tanpa awak pernah jadi perdebatan seru di awal 2012. Terkait wacana Kementerian Pertahanan membeli empat pesawat tanpa awak dari Kital Philippine Corporation (KPC). Pesawat intai tersebut mengkombinasikan mesin dari Italia, infrastruktur dari Filipina, dan teknologi dari Israel.

Wacana itu mendapat tentangan dari Anggota DPR, salah satunya Anggota Komisi I DPR dari Partai Gerindra, Ahmad Muzani yang meminta rencana pembelian pesawat tanpa awak tersebut dibatalkan karena Indonesia sudah bisa mempunyai produk serupa. "Bahkan dibeli negara tetangga seperti Malaysia," kata dia di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 26 Maret 2012.

Spesifikasi Alap-Alap Double Boom

Bentang Sayap : 3,510 m
Konfigurasi : inverted v-tail high wibng dan double boom
Berat kosong : 8,5 Kg
Berat payload : 2,5 Kg
Berat maksimum take off, MTOW : 18 Kg
Kecepatan jelajah : 55 Knots
Lama terbang : 5 Km
Jangkauan terbang : 140 Km
Tinggi terbang maksimum : 7.000 kaki

Spesifikasi Sriti

Bentang Sayap : 2,988 m
Konfigurasi : flying wing
Berat kosong : 6 Kg
Berat payload : 2 Kg
Berat Maksimum Take Off, MTOW : 8,5 Kg
Kecepatan jelajah : 30 Knots
Lama terbang : 1 jam
Jangkauan terbang : 5 Nautical mile
Tinggi terbang maksimum: 3.000 kaki


Wednesday, June 20, 2012

Indonesia akan Kembangkan UAV Terbesar di Asia Tenggara

Josaphat Laboratory Large Scale Experimental Unmanned Aerial Vehicle (JX-1).

JAKARTA, KOMPAS.com — Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ilmuwan Indonesia yang kini berkarya di Jepang, mengembangkan pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehicle/UAV) berbadan besar bernama Josaphat Laboratory Large Scale Experimental Unmanned Aerial Vehicle (JX-1).

"JX-1 sementara ini terbesar di Jepang, dan mungkin di Asia," ungkap Josaphat dalam wawancara lewat e-mail dengan Kompas.com, Sabtu (16/6/2012).


JX-1 dibuat untuk melakukan pengujian perangkat gelombang mikro dan kamera untuk penginderaan jarak jauh yang selama ini juga dikembangkan di laboratorium miliknya, Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL), di Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University, Jepang.






JX-1 dikembangkan sejak lima tahun lalu. Salah satu pertimbangannya adalah efektivitas biaya. Jika meminjam UAV untuk pengujian, prosedurnya cukup rumit dan memakan biaya besar.


"Misalnya pernah saya akan instal radar dan ditawari biaya senilai sama untuk membuat UAV berbadan besar lebih dari lima unit. Kalau punya UAV sendiri, bisa setiap saat menerbangkan sendiri dan tidak perlu khawatir untuk mengoperasikannya di daerah-daerah berbahaya," urai Josaphat.

 Lebih besar, lebih mumpuni

JX-1 memiliki beberapa kelebihan dibanding pesawat tanpa awak lain di Jepang saat ini, utamanya dalam hal ukurannya.

"Angkatan bersenjata Jepang pun hanya mempunyai UAV originalnya dengan rentang sayap terbesar adalah 3 m, sedangkan JX-1 adalah 6 m dan dapat ber-payload sensor-sensor sekitar lebih dari 30 kg," tambah Josaphat.


Pesawat tanpa awak berbadan besar diperlukan untuk mengakomodasi perangkat dengan beragam frekuensi serta mendukung proyek Josaphat selanjutnya.


Josaphat menjelaskan, teknologi Synthetic Aperture Radar (SAR) di Jepang saat ini bekerja pada frekuensi L band dengan polarisasi linear. Sementara Josaphat sendiri mengembangkan SAR yang berbasis polarisasi sirkuler sebagai sensor SAR baru di dunia.


Supaya dapat dibandingkan dengan sensor sebelumnya, Josaphat tetap mengembangkan pada frekuensi yang sama. Sementara L band memiliki panjang gelombang yang cukup panjang sehingga dibutuhkan antena berukuran lebih besar.


"Agar dapat mengakomodasi perangkat pada frekuensi rendah ini hingga tinggi (sekitar 50 GHz), maka UAV ini dirancang mempunyai ruang besar sejak awal," papar Josaphat.


JX-1 juga dipersiapkan untuk mendukung penelitian berikutnya. Saat ini sedang dipersiapkan radar yang akan bekerja pada frekuensi P, S, C, X, dan Ku band. Ruang yang besar dibutuhkan untuk mengakomodasi payload misi secara bersamaan.


"Memang saat ini ada UAV kecil-kecil, tapi mempunyai keterbatasan fungsi dalam misi, termasuk flight endurance," kata Josaphat.


Selain soal ukuran, JX-1 memiliki kelebihan sebab dirancang tembus gelombang mikro dengan dielectric constant sekitar 1,5 atau material badan pesawat berkarakteristik mendekati udara. Dengan demikian, radar bisa disimpan di dalam badan pesawat sehingga lebih terlindungi dan pancaran gelombang dapat menembusnya.

 Tulang punggung riset penginderaan jauh

JX-1 berhasil diterbangkan perdana pada 7 Juni 2012 lalu di Fujikawa Airfield. Setelah penerbangan perdana ini, JX-1 bakal siap mendukung beragam misi pengujian serta misi lanjutan berikutnya.

Saat ini, laboratorium Josaphat tengah mengembangkan Circularly Polarized Synthetic Aperture Radar (CP-SAR) sebagai SAR aktif sensor, GPS-SAR sebagai SAR pasif sensor, GPS-Radio Occultation (RO), dan Linear Polarized Synthetic Aperture Radar (LP-SAR).


JX-1 nantinya akan dimanfaatkan untuk menguji coba sensor tersebut. Setelah uji coba, sensor akan diaplikasikan pada mikrosatelit yang juga dikembangkan oleh Josaphat dan tim, bernama GAIA-I dan GAIA-II.


Josaphat menjelaskan, kedua mikrosatelit yang dikembangkan bertujuan untuk mengamati pergerakan kerak bumi sehingga membantu memprediksi gempa dan tsunami 3-5 hari sebelum kejadian. GAIA-I akan mengamati dalam resolusi lebih besar, sementara GAIA-II dalam citra yang lebih detail.


Di Jepang, teknologi yang dikembangkan Josaphat digadang mampu menjadi tulang punggung dalam riset penginderaan jauh. Nantinya, penginderaan jauh tak hanya mengandalkan radar dan satelit, tetapi juga didukung pesawat tanpa awak.


Saat ini, kata Josaphat, Malaysia dan Jepang sudah bekerja sama lewat program transfer teknologi untuk mengamati Semenanjung Malaysia. Josaphat berharap, Indonesia pun ke depan juga berminat mengaplikasikan teknologi yang dikembangkannya.
 Video



Kompas